Kata pencitraan (menampilkan citra diri yang baik dimata publik) menjadi makin populer menjelang pemilu. Para calon pemimpin berusaha menunjukkan betapa pedulinya mereka pada kehidupan rakyat kecil. ‘Blusukan’ ke tempat kumuh dan pasar, berbincang akrab serta menjadi pendengar yang baik bagi masyarakat kecil, bahkan rela naik gerobak sampah demi menunjukkan citra diri sebagai pemimpin yang rendah hati dan pro-rakyat. Mereka merendahkan diri dengan cara seperti itu untuk menghapus bayangan pemimpin yang arogan, suka menindas orang lemah, egois, dan sebagainya.
Para pemimpin dunia berusaha merendahkan dirinya demi mendapat pencitraan yang baik. Tapi Kristus Sang Raja yang berkuasa telah merendahkan diri-Nya bukan demi pencitraan. Filipi 2:6-8, mengatakan bahwa Ia tidak mempertahankan kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Bahkan Ia mengosongkan diri-Nya, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib. Saat Ia merendahkan diri-Nya seperti itu, tidak ada seorang manusia pun memberi citra yang baik kepada-Nya. Mereka justru makin merendahkan Dia dengan memasang mahkota duri dan memberinya predikat sebagai Raja orang Yahudi (Matius 27:29, 37); Para imam menyebut Dia sebagai Raja Israel yang tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri (Matius 27:42). Berbeda dari pandangan manusia, Allah justru sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kuasa atas seluruh alam semesta. Kristus merendahkan diri-Nya bukan untuk mendapat pencitraan di mata manusia, namun karena taat pada kehendak Allah. Manusia bisa tertipu oleh penampilan luar tetapi Allah tidak mungkin terkecoh. Sikap inilah yang seharusnya kita teladani. Kerendahan hati dan sikap kita, bukan untuk mencari pujian manusia tetapi demi ketaatan pada kehendak Tuhan. – Ejo