Berbela rasa adalah sebentuk sikap yang digerakkan oleh empati, turut merasakan pergumulan dan penderitaan sesamanya. Mudah bagi kita untuk berbela rasa kepada orang yang kita sukai atau menguntungkan. Tapi bagaimana kita bisa berbela rasa kepada mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita? Kadang bisa saja kita berbela rasa menolong seseorang yang tidak dikenal, jatuh karena sepeda motornya tergelincir. Namun dalam kasus seperti ini biasanya orang hanya bersedia sampai batas memberikan pertolongan dimana dirinya tidak perlu dilibatkan sampai jauh. Misalnya, sampai menyita banyak waktu, tenaga, dan materinya untuk menolong orang itu.
Berbela rasa bukan sekedar memberikan pertolongan ala kadarnya kepada sesama. Kita harus melihat kebutuhan orang itu secara keseluruhan baik jasmani maupun rohaninya secara seimbang. Tuhan Yesus telah memberi teladan tersebut saat Ia dimintai tolong oleh seorang perempuan Yunani yang dianggap kafir oleh bangsa-Nya (Markus 7:24-30). Yang menarik adalah dialog mereka di ayat 27-29, mengapa Tuhan Yesus tidak segera menolong malah mengatakan ”….tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Dan perempuan itu menjawab “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” Tuhan Yesus memandang jawaban perempuan itu sebagai kata-kata iman. Dalam kisah paralelnya di Injil Matius 15:28, ditulis dengan jelas, “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki.” Dialog tersebut menunjukan bahwa Tuhan Yesus berbela rasa pada penderitaan jasmani perempuan itu, tapi iman/ kerohanian perempuan itu juga menjadi perhatian-Nya.
Orang Kristen yang mau mengembangkan sikap berbela rasa, haruslah meniru teladan Tuhan Yesus. Berbela rasalah kepada semua orang dengan memperhatikan kebutuhan mereka secara menyeluruh dan seimbang. Jangan terfokus hanya pada satu sisi tapi melupakan sisi yang lainnya. Sisi jasmani dan rohani dari sesama kita adalah sama pentingnya. (Ejo)