“It is a joy to me to pay off by this means a fragment of the indebtedness – in which, however, I still wish to continue” – Soren Kierkegaard
Soren Kierkegaard, seorang filsuf pernah menuliskan demikian, “Aku bahagia, aku hanya dapat membayar sedikit bagian dari hutangku padamu, karena aku masih ingin tetap berhutang padamu.” Dan yang Kierkegaard maksudkan adalah tentang cinta. Menurut Kierkegaard, seseorang bisa “berhutang” karena cinta, dan cinta sejati adalah tidak membiarkan dirinya terbebas dari “hutang cinta” itu tetapi ingin terus memelihara “hutang” tersebut. Izinkan saya mengingatkan hal ini: bukankah janji adalah hutang? Maka ketika Allah mengatakan pada Daud: “TUHAN akan memberikan keturunan kepadamu. Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya,” itu adalah hutang (atau dalam bahasa lebih enak didengar: “bagian yang Allah akan kerjakan”). Allah sengaja memberikan janji yang adalah hutang ini kepada manusia, karena seperti yang Kierkegaard sampaikan, cintalah yang mendorong seseorang ingin terikat pada janji (yang adalah hutang) tersebut.
Janji menjadi salah satu cara Allah mengungkapkan cinta-Nya pada manusia. Janji menjadi salah satu cara Allah berelasi dengan manusia. Dan tidak hanya sampai di situ, karena janji ini dibangun atas dasar cinta dan dipelihara dalam cinta, maka Allah juga menepati janjinya. “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:31-33). Lain halnya jika janji dibangun atas dasar ingin mendapatkan kekuasaan seperti yang dicontohkan oleh beberapa orang yang kita kenal. Menjelang masa pemilihan, janji diobral ke sana ke mari. Ketika sudah terpilih, lupa dengan janjinya. Bahkan lebih parah lagi: “saya tidak pernah menjanjikan itu.”
Jika demikian, apa yang menjadi bagian kita?
Kita tidak perlu menagih terus menerus janji Tuhan, karena Tuhan tidak pernah lupa. Meski terentang waktu yang begitu panjang sejak Allah menyampaikan janji-Nya itu pada Daud, Allah tetap ingat bahkan mengingatkan kembali pada Maria akan janji yang pernah diucapkan-Nya itu. Karena itu bagian kita hanyalah satu: hidup dalam janji. Kita jalani kehidupan ini dengan penuh pengharapan bahkan hidup seakan-akan kita telah menerimanya. Dan karena Allah menjanjikan kita keselamatan kekal, maka hidup kita juga dijalani seperti orang yang telah diselamatkan. XND