Layaknya sebuah labirin, hidup manusia dipenuhi dengan berbagai macam tembok pemisah dan sekat yang ada di dalamnya. Sekat gender, status sosial, jabatan, akademis, kerohanian, dan sekat lainnya yang terbentuk oleh perbedaan status dan kekuasaan. Ketika sekat dibuat, perbedaan semakin mencuat. Segregasi dan konflik pun menjadi akibat. Naasnya, sekat-sekat ini juga terbangun di dalam gereja Tuhan, sehingga kesatuan dan kesetaraan jemaat menjadi sulit terwujud.
Ketika melihat kembali kepada apa yang Allah lakukan kepada manusia, sebenarnya Allah tidak pernah menciptakan sekat atau tembok pemisah dalam menjalin relasinya dengan manusia. Bahkan Allah tidak memandang status dan kekuasaan yang Ia miliki, ketika Ia hadir ke dunia di dalam pribadi Yesus Kristus. Dalam pelayanan-Nya di dunia, Yesus malah menggunakan pendekatan kekeluargaan, solidaritas, dan persekutuan dengan para murid dan setiap pengikut-Nya. Markus 6:30-34 menceritakan kepekaan dan kepedulian Yesus terhadap kebutuhan para murid ketika Ia mengajak mereka untuk beristirahat sejenak seusai pelayanan mereka. Namun, waktu istirahat ini gagal terlaksana karena orang banyak mengikuti mereka. Ketika Yesus melihat orang banyak yang kesannya mengganggu waktu “istirahat” bersama dengan murid-Nya, bukan perasaan jengkel dan marah yang muncul, melainkan rasa belas kasihan terhadap orang banyak itu. Begitu pula ketika Yesus berada di Genesaret, ketika banyak orang mengikuti-Nya terus kemanapun ia berada untuk memohon kesembuhan, Yesus tidak marah. Sebab Yesus mengasihi dan melihat mereka seperti sekumpulan domba yang tidak mempunyai gembala.
Kita dipanggil untuk meneladani sikap Kristus, yaitu dengan memperjuangkan pola hidup yang saling menggembalakan, dan berusaha mentransformasi setiap pola segregasi yang ada menjadi sebuah relasi yang setara, saling melayani, dan saling mengasihi. Seperti yang diingatkan oleh Paulus kepada jemaat Efesus (Ef. 2:11-22), kehadiran berita Injil dalam kehidupan umat manusia menjadikan wajah kehidupan dipenuhi dengan kesetaraan dan damai sejahtera. Oleh karena itu marilah kita umat Tuhan berusaha mewujudkan pendekatan kekeluargaan, solidaritas dan persekutuan yang setara, saling menopang dalam berbagai pergumulan sebagai pernyataan kabar baik di tengah kehidupan ini. (NES)