“Hai!”
“Oh, hai!”
“Masih ingat?”
“Mmm… hmm…”
Percakapan ini cukup mengesalkan baik bagi yang menyapa, maupun yang disapa. Karena bagi yang menyapa, ia tentu berasumsi bahwa yang diajaknya bicara juga ingat seperti dia; tahu sesuatu yang ia bicarakan atau yang hendak dibicarakan. Sebaliknya bagi yang disapa, ia harus mengingat sesuatu yang sudah… dilupakannya!
Karena itu, syukur pada Allah, di minggu Adven pertama yang merupakan awal dari seluruh siklus tahun liturgi kita, kita pertama-tama menggumuli tentang hal “mengingat.” Dan hal “mengingat” ini tidak hanya bicara soal bagaimana kita tidak melupakan apa yang ada di masa lampau, tetapi juga mengetahui apa yang akan dihadapi di depan. Apa itu? Hari Tuhan. Dalam konteks Perjanjian Lama, dalam teks Yeremia kita menemukan hari Tuhan dijanjikan sebagai hari saat bangsa Yehuda dibebaskan melalui kehadiran Sang Tunas Keadilan dari keturunan Daud (Yer.33:14-16). Janji ini telah disampaikan, dan terus diingatkan dari generasi ke generasi agar jangan lupa, bahwa kelak Mesias akan datang memulihkan mereka. Dan benar, Mesias hadir. Ingatan mereka akan janji di masa depan digenapi oleh Allah yang tidak lupa akan janji-Nya. Itulah hari Natal.
Kini Yesus yang adalah Mesias berjanji kalau Ia akan datang kembali. Dan Yesus mengingatkan, bahwa hari kedatangan-Nya yang kedua bisa menjadi suatu jerat bagi mereka yang tidak siap (Luk.21:29-36)? Karena akan muncul sikap hidup yang berbeda, antara mereka yang berjaga-jaga dengan yang tidak. Bagi yang hidup serampangan di luar Tuhan, hari kedatangan Tuhan menjadi hari yang sangat mengerikan dan penuh penghukuman. Tidak heran jika Paulus kemudian berusaha mengingatkan jemaat tentang semua ini dan berdoa supaya jemaat Tuhan dikuatkan hatinya, untuk dapat hidup tak bercacat dan kudus di hadapan Allah hingga hari itu tiba (1Tes.3:13). Jadi…
“Hai!”
“Masih ingat?”
(XND)