GKI Peterongan

Teologi Disabilitas Dalam Gereja

Saudara lebih suka tinggal di ruang yang sempit atau ruang yang luas? Mestinya sebagian besar orang lebih menyenangi ruang yang luas. Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah jika kita memiliki ruang yang luas, siapa saja yang boleh hadir atau bahkan tinggal di sana? Akankah kita kuasai ruangan itu sendiri? Atau kita akan berbagi dengan orang terdekat saja dan orang-orang yang menurut kita nyaman? Atau kita bersedia berbagi ruang dengan orang-orang yang berbeda dan bahkan dengan orang-orang yang memiliki banyak kekurangan?

Berbagi ruang bukanlah hal yang mudah. Hambatan terbesar adalah adanya budaya penghakiman dan pengotakan terhadap sesama manusia, di mana keduanya melahirkan sikap diskriminatif dan eksklusivitas. Seperti dikisahkan dalam bacaan Yohanes 9. Mempertanyakan, ‘Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (ay.2) merupakan sikap penghakiman bahwa orang yang terlahir buta pasti akibat dari dosa. Bahkan murid-murid yang bertanya tersebut merasa perlu memperjelas, itu dosa siapa? Karena orang yang terlahir buta itu dianggap buah dari dosa, maka mereka enggan untuk berkumpul (baca: bersekutu) dengannya. Orang-orang yang merasa benar akan membentuk perkumpulan (persekutuan) sendiri (eksklusif), sedangkan orang-orang yang dianggap berdosa dipersilakan untuk berkumpul sendiri. Kedua kelompok orang ini tidak boleh bersatu karena akan menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan penularan kenajisan.

Tapi apa jawab Yesus? “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (ay.3). Yesus hendak membongkar cara berpikir manusia yang penuh dengan nuansa penghakiman dan pengotakan. Kalaupun ada orang yang berbeda, ia tak perlu diberi label dan perlakuan yang negatif, karena orang-orang inipun merupakan ciptaan Allah dan melaluinya karya Allah dapat dinyatakan. Bukankah setiap orang diciptakan unik dan berharga oleh Allah? Oleh karena itu gereja (baik umat percaya secara pribadi maupun kolektif) mesti bersedia berbagi ruang dengan siapapun, baik dengan penyandang disabilitas fisik, intelektual, maupun mental. Berbagi ruang untuk menerima kehadirannya, memberi pertolongan, serta melibatkannya dalam berkarya. Dengan bersikap demikian maka misi Allah untuk menghadirkan kabar baik bagi semua orang dapat terlaksana dengan indah.  (RKG)  

Pdt. Ibu Rinta Kurniawati Gunawan

Arsip