“Dalam suka duka ‘ku ‘kan tetap tersenyum. Walaupun diejek dan dihina ‘ku ‘kan tetap tersenyum…” Demikian syair lagu yang diajarkan seorang guru Sekolah Minggu pada murid-murid kelas Balita. Semua murid bernyanyi gembira, kecuali seorang anak perempuan. Dari tadi dia diam saja sambil cemberut. “Kenapa kamu tidak ikut menyanyi?”, tanya sang guru. Ia menjawab: “Mana bisa tetap senyum kalau diejek!” Sikap anak tersebut sangat manusiawi. Siapapun di dunia ini sulit untuk tetap bersikap positif atau bertahan ketika menderita.
Jika ada pilihan antara menderita karena berbuat benar atau hidup nyaman tapi di jalan yang salah, banyak orang akan lebih memilih yang kedua. Itulah kecenderungan manusia berdosa. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap Tuhan Yesus. Ketika memutuskan untuk memasuki kota Yerusalem, Yesus tahu bahwa diri-Nya akan mengalami penderitaan (Lukas 18:31-33). Namun Ia memilih untuk taat menjalaninya. Ketaatan Yesus bukan karena terpaksa, tidak ada pilihan atau karena ketidaktahuan. Ketaatan-Nya didasari oleh kerelaan diri (Filipi 2:6-7). Totalitas ketaatan Yesus terbukti lewat kematiannya di kayu salib (Filipi 2:8). Semua itu membuktikan bahwa Ia percaya penuh pada kehendak Bapa. Ia yakin kehendak Bapa pasti sempurna, baik dan benar. Sehingga penderitaan terberat sekalipun sanggup dijalaninya tanpa keluhan atau keterpaksaan.
Jika saat ini kita mengalami penderitaan oleh karena kebenaran, milikilah sikap seperti Tuhan Yesus. Percaya penuh pada kesempurnaan kehendak Tuhan, sehingga tidak ada keluhan atau kekuatiran. Kita harus yakin bahwa taat menjalani kebenaran Tuhan adalah pilihan yang tepat, walau harus meniti jalan yang berat. (EJO)