Kalau saya boleh bertanya, apa harapan Anda tentang masa depan Anda? Bisa Anda sebutkan satu per satu dalam hati? Jika ternyata tidak dan Anda menemukan bahwa Anda sulit melakukannya, hanya ada tiga alasan mengapa demikian, dan semoga Anda salah satu dari dua yang pertama, bukan yang ketiga.
Pertama, Anda sulit menyebutkan apa yang menjadi harapan Anda ke depan karena agaknya Anda memiliki prinsip hidup: mengalir saja. “Pokoknya, dijalani dulu saja,” “Saya orangnya nerimo.” Jadi apapun yang terjadi di masa depan, Anda terima saja. Sederhana, nggak neko-neko. Kedua, mungkin Anda takut untuk berharap. Kenapa? Karena Anda takut sakit kalau harapan itu tidak terwujud. Takut nanti Anda sudah berharap banyak, eh ternyata harapan Anda kandas begitu saja. Jadi Anda memilih untuk tidak berharap apapun supaya Anda tidak perlu kecewa jika tidak terjadi.
Sampai di sini, pada alasan pertama maupun kedua, Anda sebenarnya tidak berharap lagi bukan karena tidak adanya harapan di depan, tetapi hanya karena Anda enggan untuk berharap, cukup jalani saja kehidupan ini. Tetapi, bagaimana dengan alasan ketiga?
Ketiga, karena kelihatannya memang sudah tidak ada lagi harapan. Kok bisa? Keadaan yang begitu berantakan, masalah makin rumit, daya dan upaya untuk memperbaiki keadaan sudah tidak ada lagi. Dalam kondisi seperti ini, Anda mungkin masih ingin berharap, tetapi tidak bisa. Sama seperti yang dihadapi bangsa Israel. Setelah pemerintahan Raja Salomo, Israel terpecah dua: Utara (Israel) dan Selatan (Yehuda). Mereka sudah terlanjur menjadi sasaran murka Allah akibat pelanggaran mereka sendiri. Mereka mengalami pembuangan ke negeri asing dan kota-kota mereka dihancurkan. Di titik inilah mereka merasa tidak ada harapan lagi. Tetapi, Tuhan kemudian mengutus nabi-nabi untuk menyampaikan janji pemulihan. Ternyata tidak untuk selamanya Allah murka. Jika mereka berbalik pada Tuhan, Tuhan akan mengangkat mereka kembali. Lalu berserulah mereka kembali pada Tuhan (Yes. 64:8-9, Mzm. 80:4). Mereka melihat, masih ada harapan di dalam Tuhan.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita mampu menjalani hidup ini terus menerus tanpa memiliki pengharapan? Bukankah sebaliknya harapan yang kita letakkan di belakang tabir masa depan itulah yang menggerakan kaki kita untuk terus melangkah dalam kehidupan ini? Bersama dengan Tuhan, kita dapat memiliki pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Bahkan lebih dari itu, Tuhan akan menjaga kita, hingga saatnya nanti Ia akan membawa kita bersama-sama dengan dia dalam kekekalan. Adakah masa depan yang lebih baik dari itu? Teruslah berharap di dalam Tuhan! (XND)