GKI Peterongan

Iman Kepada Allah Yang Hidup

Bagaimana sikap kita dalam menghadapi hidup selama ini? Apakah kita cenderung aktif atau pasif? Selalu berusaha optimis dan berpikir positif atau pesimis dan berpikir negatif? Apakah kita lebih banyak bersyukur atau mengeluh dan iri? Lebih sering kuatir atau penuh harapan? Lebih mudah sedih atau penuh semangat? Semua sikap tersebut akan menentukan sikap kita dalam menghadapi situasi, dalam berelasi, dan dalam berkarya. Dan semua sikap tersebut dipengaruhi oleh bagaimana jalinan relasi kita dengan Yang Mahakuasa.

Tentu kita semua tahu kisah Ayub yang tiba-tiba mengalami banyak musibah dalam hidupnya. Kehilangan harta benda dan ternak, anak-anak, sekaligus kehilangan kesehatannya. Ayub yang dulu dapat berdiri tegak dengan semua kejayaannya, kini harus tertunduk untuk menggaruk tubuhnya yang penuh borok serta untuk mendengarkan umpatan istrinya dan tuduhan kawan-kawannya. Bagaimana reaksi Ayub terhadap kondisi tersebut? Pada saat ia kehilangan harta benda, ternak, dan anak-anaknya, Ayub dapat berkata, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21b). Lalu ketika ia kehilangan kesehatannya sehingga sang istri memintanya untuk mengutuki Tuhan, Ayub justru menegurnya dengan keras, “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10a). Dan ketika Ayub sempat risau karena tuduhan para sahabatnya yang mengatakan bahwa ia adalah orang fasik dan karenanya pasti akan binasa, Ayub justru berkata, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu.” (Ayub 19:25).

Iman semacam inilah yang membuat Ayub dapat bertahan menghadapi situasi yang sangat sulit. Ia percaya bahwa Allah yang selama ini ia sembah sungguh-sungguh Allah yang hidup; Allah yang Mahakuasa, yang sanggup menebus hidupnya dari segala dosa dan celaka, Allah yang sangat peduli dan mengasihinya. Tanpa iman semacam ini, kita akan cenderung bersikap negatif dalam menghadapi persoalan hidup. Mengapa? Sebab kita akan merasa berjalan sendiri tanpa pertolongan dan tanpa belas kasih. Hanya dengan memandang kepada Allah yang hiduplah maka kita dapat tetap semangat, penuh harapan, selalu bersyukur, tetap mampu mengasihi dan berkarya walau sedang berjalan dalam lembah kekelaman. Allah seperti apa yang Saudara percayai: Allah yang hidup atau allah yang mati?  (RKG)

Pdt. Ibu Rinta Kurniawati Gunawan

Arsip