Aku
Ketika semua dimulai dengan kata “aku”
Dan hanya berisi dengan “aku”
Maka lihatlah, jurang “keakuan” itu menganga
Meneriakkan suatu kebohongan terbesar
Bahwa dunia ini hanya ada “aku”
Dan “diriku”
Dan “kehidupanku”
Tidak ada yang lain
Jurang itu memanggil
“Aku”
Untuk jatuh ke dalamnya
Dan selamanya terbenam di dalamnya
Karena semua dimulai dengan kata “aku”
Maka semua berakhir dalam kata “aku”
Seorang diri.
Sepenggal puisi yang kiranya menuntun kita berefleksi bahwa manusia seringkali terjebak pada keakuan diri, keegoisan dirinya sendiri. Ini adalah jurang yang begitu besar, yang menjebak manusia seakan-akan dirinya adalah pemeran utama atau bahkan satu-satunya pemeran dalam naskah kehidupan ini. Alhasil, tidak ada tempat bagi yang lain. Kalau sesuatu bisa terjadi dengan baik, itu karena “saya”. Kalau berjumpa dengan hal-hal yang indah, itu semua untuk “saya”. Dan pada akhirnya, ketika bergumul menghadapi persoalan berat, itu adalah beban yang harus “saya” pikul sendirian. Lihat bagaimana Musa sempat mengeluhkan hal ini (lih. Bil.11:10-15). Ia merasa hanya dirinya seorang diri yang menanggung semua beban persoalan yang ada. Pernah merasakan seperti ini?
Karena itu ingat pesan Yakobus dalam Yakobus 5:13-20. Di sana menyiratkan adanya “ketersalingan” di tengah jemaat. Jika ada yang sakit, seorang yang lain datang mendoakan. Jika ada yang berdosa, seorang yang lain datang mengampuni. Dalam kehidupan seperti ini, Allah hadir dan berkarya. Jika Allah mau, Allah bisa memakai siapapun bahkan orang-orang yang di luar pemikiran kita. Kata Yesus “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” Jangan pernah batasi karya Allah dengan menganggap bahwa di dunia ini hanya ada saya, seakan-akan Allah hanya dapat berkarya melalui saya, melalui kelompok saya. (XND)