GKI Peterongan

Pernikahan : Antara Idealisme dan Realitas

Sebuah pepatah kuno mengatakan kalau mencari jodoh harus dilihat dulu bibit, bebet, bobotnya. Kalau bisa bibit anak orang kaya raya agar hidupmu enak. Apalagi kalau dia orang yang memiliki jabatan, pasti hidupmu sejahtera. Bahkan ada orang tua yang berpesan, “Lebih baik kamu jangan baptis dulu agar nanti kamu bisa dengan mudah mengikuti agama suamimu.” Manusia bisa dengan mudah memikirkan dan mempertimbangkan hal yang bersifat materi dengan sangat baik. Manusia cenderung lupa ada aspek yang paling penting untuk dipertimbangkan, yaitu aspek spiritual.
Paulus dalam 2 Korintus 6:11-7:1 memberikan nasehat kepada jemaat Korintus sebagai orang tua kepada anaknya. Jemaat Korintus sempat tidak mempercayai integritas Paulus karena sebenarnya diri mereka tahu bahwa mereka salah. Jemaat di Korintus sudah menikah dengan orang yang tidak seiman dan membuat mereka menjauh dari Allah. Sebagai orang tua yang wajib memberikan nasihat dan teguran kepada anaknya yang telah salah jalan, demkianlah Paulus menasihati jemaat di Korintus. Paulus tidak melarang umat bergaul dengan orang yang berbeda iman. Hanya saja dalam pernikahan, seharusnya umat menikah dengan orang yang sepadan imannya. Pasangan yang tidak seiman bisa membuat orang percaya terseret menjauh dari Allah seperti yang dialami oleh jemaat di Korintus. Paulus meminta jemaat Korintus untuk bertobat, kembali mendekat pada Allah dan menjauhi ilah-ilah sebagai bukti rasa takut dan hormat mereka kepada Allah.
Umat percaya merupakan anak-anak terang yang menjadi bait Allah dan memiliki tugas untuk melakukan kehendak Allah. Sedangkan orang yang tidak percaya merupakan anak-anak gelap yang melakukan kehendak ilah yang ia sembah. Tidak mungkin umat percaya dan orang tidak percaya dapat bersatu menghasilkan keluarga yang melakukan kehendak Allah dalam pernikahan. Pernikahan bukanlah sekedar ajang untuk membuktikan diri maupun ajang untuk mengubah “nasib”. Idealisme pernikahan Kristiani seharusnya tetap kita jaga di tengah realita kehidupan yang semakin menekankan pada materi. Pernikahan mestinya menjadi sarana untuk mempertajam kualitas iman dan sarana untuk mewariskan iman melalui pendidikan terhadap anak-anak. Semuanya itu dapat tercapai melalui pernikahan suami istri yang seiman. Jangan pertaruhkan iman hanya karena cinta atau harta, sebab iman harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Sang Juruselamat kita. (ENTS)

Elisabeth Nathania TS.

Arsip