Nelson Mandela lahir di Feso 18 Juli 1918 dan wafat 5 Desember 2013 di Johannesburg Afrika Selatan. Ia adalah pejuang apartheid yang berkali-kali dijebloskan ke penjara. Di penjara, ia seringkali dipukuli dan diperlakukan tidak manusiawi. Perjuangannya yang gigih mengantarkannya menjadi orang nomor satu di negeri itu. Ketika selesai dilantik, ia menjamu semua lawan-lawan politik dan para penganiayanya di istana. Setelah itu, ia berjalan ke penjara bersama mereka yang pernah memukulinya. Ia berkata kepada mereka, ‘di sini kamu memukuli saya kan? Lalu ia berjalan lagi ke ruangan lain, ‘di sini kamu menelanjangi dan membiarkan saya kedinginan kan? Mereka yang memperlakukannya tidak manusiawi itu ketakutan dan mengeluarkan keringat seperti biji jagung. Tetapi kemudian ia berkata, ‘saya adalah pengikut Kristus dan seperti Kristus mengampuni saya, saya pun mengampuni kalian’.
Dunia ini mengajarkan mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Mereka yang pernah diperlakukan jahat akan membalas kejahatan yang mereka pernah dapatkan. Melihat orang-orang yang memusuhi mereka menderita atau binasa adalah hal yang sangat memuaskan. Mereka akan berkata, ‘kamu baru tahu kamu berhadapan dengan siapa?’ saat mereka berhasil melumpuhkan musuh-musuh mereka.
Tetapi seperti sikap Mandela, seperti itulah yang Alkitab ajarkan. Paulus dan Silas ketika dipenjarakan di Filipi mereka tak perlu melakukan apa-apa untuk membuat kepala penjara itu mati. Ia cukup berdiam diri dan orang yang memasung mereka itu mati dengan sendirinya. Atau mereka buru-buru pergi saat rantai kaki dan sendi-sendi penjara terbuka. Lalu membiarkan mereka yang lalai itu dihukum oleh atasan mereka. Tetapi mereka tak melakukannya, melainkan mereka tetap berdiam di penjara itu. Tak hanya itu, mereka menyelamatkan kepala penjara itu dari percobaan bunuh diri. Selanjutnya mereka menyelamatkannya dari kematian kekal dengan jalan memperkenalkannya dengan Kristus. Bukan saja kepala penjara itu yang diselamatkan tetapi juga seisi rumahnya. Paulus dan Silas tak menganggap kepala penjara itu sebagai orang yang pantas dibinasakan melainkan sebagai orang yang harus menyatu dengan dirinya dalam kasih Allah. Sebab di dalam Allah semua adalah satu. Tak ada musuh.
Lalu, bagaimanakah kita sebagai orang percaya di zaman ini? Apakah sikap Mandela, Paulus dan Silas juga mencerminkan kehidupan dan perilaku kita? Kiranya. – PRB