2 Korintus 5:6-17
Tania adalah seorang gadis kecil berumur empat tahun yang terlihat sehat dari wajahnya. Mata berbinar dan senyum mengembang selalu menghiasi wajahnya yang sedang menunggu giliran periksa di RS. Kusta Carville, Lousiana, Amerika. Belakangan baru terlihat bahwa di kedua kakinya terdapat perban yang tebal, menutupi koreng yang diderita. Engkel kaki gadis cilik ini terlihat bengkak dan bisa berputar ke segala arah! Anehnya, Tania tidak menunjukkan raut wajah kesakitan. Tania kehilangan kemampuan untuk mendeteksi rasa sakit. Kondisi diperparah oleh kondisi intelektual dan psikologinya yang masih sangat muda, belum memahami konsep kesehatan dan keselamatan jiwa. Ketiadaan rasa sakit, membuat Tania tidak mengerti bahwa cedera-cedera tersebut bisa dihindari, dan bisa menyelamatkan jiwanya.
Kita harus bisa ‘melihat’ bahwa rasa sakit adalah sebuah pesan. Ketika kita merasa ada bagian tubuh yang sakit, dengan refleks kita melakukan sesuatu untuk mengurangi/menghilangkan rasa tersebut. Tetapi apa jadinya apabila rasa sakit itu tidak bisa dirasakan tubuh kita? Akan banyak kejadian buruk yang bisa terjadi, karena hilangnya refleks dan kesempatan untuk menghindari cedera yang parah.
Rasa sakit, penderitaan, dan kesulitan hidup sering membuat kita frustrasi dan mati rasa. Kita lupa beriman dan cenderung memandang dari sudut yang salah. Iman kepada Kristus yang merupakan respon seharusnya dari kita, menjadi tidak logis dan sulit dipahami. Kita lupa, bahwa keberadaan penderitaan dan rasa sakit itu justru dipakai Tuhan untuk mengingatkan kita untuk teguh beriman kepada Kristus (2Kor 5:6–7). Dengan iman akan terbuka perspektif baru mata hati kita. Di dalam perspektif ini, kita semua yang ada dalam Kristus adalah ciptaan baru (ay.17). Transformasi revolusioner yang akan mempengaruhi cara kita menilai diri sendiri, orang lain, dan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita (ay.16). Dalam iman kepada Kristus, ada pengharapan yang pasti, dan respon yang kita lakukan senantiasa didasarkan pada kehendak Allah. (DAA)