Beberapa waktu yang lalu kami membawa anak kami ke psikolog dengan maksud mengetahui perkembangannya. Selama ini kami merasa telah mendidiknya sebaik mungkin sesuai dengan Firman Tuhan dan pengetahuan yang kami tahu. Tetapi pandangan psikolog berbeda sama sekali. Dari hasil tes, (baik anak dan kami orang tuanya) justru ditemukan bahwa cara mendidik kami telah menyebabkan anak kami tak mencapai puncak terbaiknya dalam memaksimalkan potensi pertumbuhannya. Ternyata apa yang kami anggap benar dan tepat selama ini ternyata hanya benar dalam perspektif kami. Akibatnya anak kami tak bertumbuh sebagaimana mestinya. Lalu atas temuan dan saran psikolog tersebut kami mengubah cara mendidik dan menangani anak kami. Kami bertobat.
Imam-imam Yahudi menganggap diri paling benar dalam versi mereka. Akibatnya, semua orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap salah dan melawan Allah. Mereka secara akal bermoral tetapi tidak dalam tindakan. Orang seperti ini dilambangkan sebagai anak pertama dalam bacaan kita. Mereka mengakui Yohanes sebagai utusan Allah tetapi menolak baptisannya. Mereka tahu tentang kehendak Allah tetapi tidak melakukannya. Berbeda dengan pemungut cukai dan perempuan sundal setelah tahu kehendak Allah mereka taat dan mematuhinya. Mereka bertobat.
Dari kedua anak itu, manakah yang mewakili kita? Anak pertama ataukah anak kedua? Hal itu tidaklah menjadi penting. Jelasnya kita memiliki satu Bapa dan Ia menyuruh kita melakukan hal yang sama, ‘Anakku pergilah dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur’. Kita dituntut bekerja segera dalam ‘kebun anggur-Nya’. Hal ini memerlukan ketaatan segera dan mendesak sebelum datang malam. Hanya pribadi dan keluarga yang bersedia bertobat dapat melakukannya. – PRB