Relasi keluarga seharusnya menjadi relasi yang paling dekat, namun terkadang malah bisa menjadi relasi yang paling jauh. Warisan bisa membuat saudara kandung menjadi musuh bebuyutan, beda pendapat bisa membuat seorang anak lari meninggalkan orangtuanya. Bahkan ada orang-orang yang lebih suka minta tolong pada sahabat ketimbang saudara karena saudaranya malah cenderung menyalahkannya atas persoalan yang menimpanya dan tidak peduli kepadanya.
Esau dan Yakub contohnya. Mereka adalah saudara kandung, namun relasi mereka sangat “politis”. Yakub mau memberikan semangkuk kacang merah kepada saudara kandungnya sendiri jika ia memberikan apa yang diinginkan oleh Yakub, yakni hak kesulungan. Seakan Yakub mau mengasihi dan melayani Esau ketika Esau dapat dimanfaatkan untuk memenuhi keinginannya. Tidak cukup sampai di situ. Ribka, sang ibu, kemudian merancangkan tipuan bersama Yakub agar berkat kesulungan jatuh ke tangan Yakub; bukan Esau. Terjadilah skema penipuan kepada Ishak, sang ayah. Ishak yang sudah rabun mengira bahwa anak yang datang untuk diberkatinya adalah Esau. Padahal anak itu adalah Yakub yang memakai bulu di badannya. Nasi sudah menjadi bubur. Ketika Esau datang dan meminta berkat kesulungan, Ishak kaget dan bingung. Ishak sadar bahwa dirinya telah ditipu oleh keluarganya sendiri. Namun, Ishak tahu bahwa berkat kesulungan yang telah ia ucapkan tidak dapat ditarik kembali (Kejadian 27:33). Esau pun menaruh dendam dan ingin membunuh Yakub (ay. 41). Yakub pun terpaksa melarikan diri dari rumah. (ay. 43-45) Ribka dan Yakub berusaha mencari keuntungan dari keluarganya sendiri tanpa berpikir panjang bahwa ada hal besar yang harus dikorbankan, yaitu relasi. Relasi keluarga itu hancur, penuh dendam dan penyesalan, hingga akhirnya tercerai berai.
Hidup berkeluarga yang hanya dibangun berdasarkan prinsip konektivitas, cepat atau lambat akan menimbulkan konflik dan perpecahan. Berkoneksi adalah membangun hubungan demi keuntungan pribadi, layaknya dalam hubungan bisnis. Berbeda halnya jika kita mau membangun relasi dalam keluarga. Yang timbul darinya adalah sikap saling menerima, menghormati, mendukung, dan mengampuni. Keluarga adalah anugerah Tuhan agar kita bisa belajar menjadi serupa dengan-Nya. Menolong anggota keluarga bukan dengan pertimbangan untung rugi, melainkan karena dorongan hati. Keluarga seharusnya menjadi ‘support system’, ketika yang satu lemah, yang lain menopang, bukan malah saling bersaing dan menjatuhkan. (ENTS)

You May Also Like

Ayub dan Para Sahabatnya Penghibur Sejati VS Penghibur Sialan

“Sudah jatuh terjepit eskalator”, itulah Ayub. Dirinya menderita lahir batin,  sahabat-sahabatnya datang…

Diberi Berbeda Agar Saling Memperlengkapi

Efesus 4:1-16   Kelima jari yang kita miliki, memiliki nama, bentuk, dan…

Semua yang Dijadikan-Nya Sungguh Amat Baik

Kejadian 1:1-27, 31, Mazmur 148 Suatu hari anak kami sedang belajar dan…