Kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada Jakarta merupakan fenomena menarik. Awalnya orang pesimis mereka bakal menang. Keduanya bukan orang Jakarta. Jokowi dipandang “orang sederhana.” Praktisi, bukan konseptor. Sedangkan Ahok berasal dari kelompok minoritas. Saingannya adalah gubernur asal Betawi yang sudah berpengalaman memimpin Jakarta. Menguasai medan. Punya jaringan kekuasaan. Namun masyarakat justru memilih Jokowi-Ahok. Kekuatan mereka justru terletak pada kesederhanaannya. Orang melihat mereka sebagai figur pemimpin yang rindu melayani rakyat, bukan sekedar mencari pangkat.
Banyak orang ingin menjadi yang terbesar karena mau berkuasa. Berambisi menjadi orang nomor satu dan dihormati. Inilah yang membuat para murid Yesus bertengkar (Mrk. 9:34). Masing-masing merasa diri layak disebut “yang terbesar.” Dampaknya adalah kesombongan. Tidak heran, salah satu muridNya, Yohanes, sampai berani mencegah orang di luar kelompok mereka mengusir setan demi nama Yesus. Kuasa itu dianggap “hak eksklusif” para murid. Tuhan Yesus menegornya. Ia mengingatkan mereka akan bahayanya ambisi berkuasa. Seorang pemimpin harusnya mengabdi. Melayani, bukan bertahta di tempat tinggi. Lalu Yesus memeluk seorang anak kecil. Ia melayani wong cilik yang tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Yesus menyatakan, pemimpin yang mau menyambut wong cilik seperti itulah yang akan disambut Allah.
Yakobus mengingatkan: kegagalan seorang pelayan sering bermula dari ambisi untuk berkuasa dan dihormati. Itu yang membuatnya marah dan iri ketika orang lain lebih dihargai (Yak. 3:14-16). Bahkan melukai, saat tidak memperoleh yang diingini (4:1-2). Pemimpin sejati tidak demikian. Ia sibuk melayani hingga tak sempat untuk iri (3:13).
Setiap kita adalah pemimpin, baik formal atau informal. Sudahkah kita menjadi pemimpin yang melayani? (JTI)