GKI Peterongan

Dalam Badai Tuhan Bertindak

Ayub adalah orang yang berbudi baik dan mempunyai kekayaan yang sangat banyak tetapi kemudian mengalami musibah yang hebat. Ia kehilangan semua anaknya dan segala harta bendanya. Ia dihinggapi penyakit kulit yang menjijikkan. Teman – teman Ayub menurut agama tradisional menjelaskan bahwa orang mengalami penderitaan itu karena hukuman Allah atas perbuatan jahatnya. Bildad salah satu temannya berkata kepada Ayub, ‘Ketahuilah Allah tidak menolak orang saleh, dan Ia tidak memegang tangan orang yang berbuat jahat’. Ayub di mata teman – temannya pasti berbuat jahat sehingga Allah menghukumnya. Tak hanya itu, istrinya sebagai orang yang paling dekat dengannya turut angkat suara, ‘Masih bertekunkan engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!’
Atas semua itu Ayub menanggapinya dengan dingin. Kepada istrinya ia berkata, ‘Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk?’ Terhadap pendapat teman – temannya, Ayub menganggapnya terlalu dangkal; meski ia berpikir tidak sepantasnya mendapat hukuman sekejam itu, sebab ia seorang yang sangat baik dan jujur. Ia tak dapat mengerti mengapa Allah membiarkan orang seperti dirinya mengalami banyak bencana dan terhina. Ia pun marah dan berani menantang Allah supaya dibenarkan dan mendapat kehormatannya kembali.
Allah tak memberinya jawaban tetapi menanggapinya dengan memberi banyak contoh mengenai kuasa dan hikmat-Nya. Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, Ayub mengakui kebijaksanaan dan keagungan Allah, ia menyesali kata – katanya. Keadaannya dipulihkan melebihi dua kali lipat dari keadaan sebelumnya.
Allah kadang – kadang mengijinkan kita mengalami ujian yang berat. Kadang – kadang tampak suram dan kejam. Kelihatannya seperti tidak ada keuntungan mengabdi kepada Allah. Lalu berbagai asumsi dan pendapat yang cerdik dan pandai kita kemukakan. Tetapi tidak mengubah keadaan, lalu kita kecewa.
Sikap seperti ini bukanlah sikap orang yang memiliki landasan iman yang kuat. Sebab landasan iman yang sesungguhnya bukanlah terletak dalam berkat – berkat Allah, dalam situasi – siatuasi pribadi atau jawaban – jawaban yang pandai dan cerdik, tetapi pada keyakinan akan penyertaan Allah. Seperti ungkapan Paulus, ‘… dalam segala hal kami menunjukkan bahwa kami adalah pelayan Allah yaitu dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran. …‘Karena Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia’ – PRB

Pieter Randan Bua

Arsip