Kalau belanja, saya lebih suka membeli barang dengan harga pas. Praktis. Cepat. Harganya jelas. Teman saya sebaliknya. Hobi bernegosiasi. Ketika menemaninya belanja di Mangga Dua, dia suka sekali tawar-menawar. Mulai dari setengah harga, berangsur tawaran dinaikkan sampai terjadi kesepakatan. Prosesnya lama, tetapi gaya memelasnya mampu meluluhkan hati penjual. Dia bilang, ada kepuasan tersendiri ketika menawar. Sebab ia bisa memperoleh harga yang disepakati bersama, bukan ditetapkan sepihak oleh si penjual.
Sebagian orang percaya, dalam doa tidak ada negosiasi. “Doa tidak mengubah Allah. Hanya mengubah si pendoa.” Bukankah rencana Allah pasti terjadi? Namun dalam Kej 18:20-32 dikisahkan bagaimana Abraham tawar-menawar ketika Tuhan berencana memusnahkan Sodom dan Gomora. Walau keputusan akhir ada di pihak Tuhan, ternyata Tuhan tidak kaku. Tidak ditetapkannya harga mati. Tuhan memberi Musa ruang untuk bernegosiasi. Bacaan Injil (Luk 11:1-13) menjelaskan prinsip serupa. Tuhan Yesus mengajak para murid berdoa “Jadilah kehendakMu.” Namun sesudahnya, mereka diajar meminta tanpa jemu, mengetok pintu sampai Bapa memberi apa yang mereka perlu.
Jika harga sebuah barang bisa ditawar, tetapi langsung kita beli tanpa menawar, kita rugi. Begitu pula jika Tuhan memberi ruang untuk bernegosiasi dalam doa, namun kita tidak menggunakannya karena malas berdoa, kita rugi sekali. (JTI)
Berdialog dalam doa adalah hak istimewa.
Sayang baru sedikit yang memanfaatkannya.