GKI Peterongan

Hidup Yang Bertanggung Jawab

Ketika berbicara masalah Hidup Yang Bertanggung Jawab, maka kita dapat melihat dinamika yang terjadi beberapa hari belakang ini, diantaranya para wakil rakyat yang tidak gentleman datang menghadap KPK untuk diperiksa dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang pernah dilakukannya. Mereka selalu berlindung dibalik alasan-alasan hukum dan administrasi agar dapat lepas dari pemeriksaan. Dalam hal ini nampak bahwa rasa tanggung jawab di negara ini semakin lama semakin memudar. Dan kalau mau ditelisik lebih jauh bahwa ternyata hilangnya rasa tanggung jawab itu tidak hanya dalam level kepemimpinan. Dalam level masyarakat biasapun rasa tanggung jawab itu menipis seperti berita-berita hoax yang di upload di sosial media yang berpotensi menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, sampai-sampai pemerintah harus membuat peraturan untuk hal tersebut. Menipis bahkan hilangnya rasa tanggung jawab itu tidak hanya terjadi pada wilayah sekuler saja, ternyata pada ranah keagamaan (yang nota bena area suci) tidak membuat seseorang memiliki dan menghayati rasa tanggung jawab yang tinggi. Buktinya seringkali para petinggi-petinggi agama pemangku jabatan tidak bertanggung jawab atas ajaran dan khotbah-khotbah yang disampaikan yang berpotensi menyesatkan. Mereka juga baik dengan sengaja atau tidak membodohi umatnya untuk mengambil uang jemaat untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk kesejahteraan umat (Kasus First Travel dan Kasus korupsi senilai 4,7 triliun salah satu gereja di Surabaya). Jadi, dapatlah dikatakan bahwa sikap tidak bertanggung jawab hampir sempurna terjadi di semua lini kehidupan.
Melalui perumpamaan tentang Talenta, Yesus dengan jelas-jelas mengingatkan bahwa setiap orang sudah diberikan tanggung jawab dan kepercayaan yang besar untuk dapat mengelola “pemberian” dalam kehidupan ini dengan sebaik-baiknya dengan rasa syukur dan penuh dengan antusias, bukan dengan keluhan-keluhan bahkan pemikiran yang negatif. Mengapa …? Karena setiap pribadi akan dimintai pertanggungjawaban secara pribadi bukan kolektif. Ketika pertanggungjawaban dimintakan kepada masing-masing pribadi tidak akan ada lagi alasan-alasan sebagai kambing hitam agar seseorang dapat lepas dari pertanggungjawabannya. Yang baik tetap dinilai baik (Mat. 25:21). Dan yang jahat tetap dinilai jahat; “campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat. 25: 30). Dari sikap sang Penghakim yang sudah jelas ini marilah kita waspada terhadap hidup yang dianugerahkan Tuhan, agar kita beroleh hati yang bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu dalam kehidupan ini. (JS)

Pdt. Jerdi Stevan

Arsip