Sejak dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan manis budi bahasanya. Bangsa sebagai suatu komunitas yang rendah hati serta penuh dengan toleransi. Namun sejarah kelam telah mencoreng wajah komunitas yang ramah dan welas asih ini. Peristiwa Poso dan Ambon (waktu yang lalu) serta beberapa bentrok massa di berbagai wilayah, telah mengubah wajah bangsa Indonesia sebagai komunitas yang garang dan intoleransi. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi ? Sudah sedemikian jauhkah penghayatan dari nilai-nilai budaya dan norma agama dalam masyarakat bangsa ini. Atau nilai dan norma yang ada hanya sekedar formalitas belaka agar dipandang pantas. Bila memang benar…maka sesungguhnya manusia telah terjebak dalam norma formal tanpa adanya sebuah penghayatan.
Dan inilah yang juga terjadi dengan si Simon orang Farisi, sebagai tuan rumah yang mengundang Yesus dalam jamuan makannya. Lihatlah sambutan yang ia berikan pada Yesus biasa-biasa saja, sebuah sambutan formal sebagai mana pada umumnya berlaku bagi semua orang. Tidak ada sikap yang menggambarkan sebuah komunitas yang penuh dengan kehangatan, keakrababan dan cinta kasih. Bahkan terhadap perempuan berdosa yang tiba-tiba hadir dan mengurapi kaki Yesus, dianggap oleh Simon sebagai sebuah malapetaka karena perempuan pendosa yang hina ini telah merusak suasana jamuan makan bersama Yesus. “Kalau Yesus nabi, mengapa Ia tidak mengusir saja perempuan ini ?” tanya Simon dalam hatinya. Namun Simon mendapatkan reaksi yang mengejutkan dari Yesus dan berkata pada Simon: “Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi.
Yesus telah membangun sebuah nilai baru dalam suatu komunitas……. Komunitas cinta kasih yang penuh kehangatan, yang saling memperhatikan, saling menerima, saling mengampuni yang membawa kelegaan dan keselamatan bagi orang lain.
Bagaimanakah komunitas persekutuan kita sebagai orang Kristen saat ini? Apakah terpancar kehangatan, kasih dan pengampunan? Atau persekutuan yang hanya sekedar sebuah formalitas tanpa penghayatan, terlebih hanya menilai dan memberikan penghakiman terhadap sesama. (JS)