Seiring dengan berkembangnya zaman, berkembang pula pemakaian bahasa. Bukan saja yang resmi dan ilmiah, tapi yang gaul dan berkesan lucu-lucuan juga banyak bermunculan. Beberapa tahun yang lalu muncul bahasa gaul ala Debby Sahertian, lalu belakangan muncul bahasa alay hingga bahasa kontroversial ala Vicky Prasetyo. Banyak orang berlomba-lomba untuk memunculkan istilah-istilah baru yang asyik didengar supaya bisa menjadi trend. Sebut saja “sakitnya tuh di sini”, “maju mundur cantik”, “cabe-cabean”, dan sebagainya. Semakin sering istilah itu diingat dan digunakan masyarakat, maka tentunya sang pencetus akan semakin populer.
Bahasa merupakan alat komunikasi. Dengan bahasa, kita bisa menyampaikan pesan dan perasaan. Selain itu, bahasa juga mempersatukan banyak orang. Nah, ternyata Allah kita sangat mengerti dan memperhatikan hal ini. Oleh karena itulah Ia datang ke dalam dunia sebagai manusia, supaya Ia bisa berbahasa dan menyampaikan pesan-Nya kepada kita. Sepanjang zaman Allah terus berbicara kepada manusia, namun manusia tidak juga mengerti akan kehendak-Nya. Maka Ia perlu turun menjadi sama dengan kita, berbahasa sama dengan kita, supaya manusia mengenal Dia, serta mengerti akan maksud dan rencana-Nya bagi dunia ini.
Dan istimewanya, bahasa yang disampaikan-Nya adalah bahasa yang penuh dengan kuasa. Apa yang Ia katakan dan ajarkan bukan kata-kata klise tanpa makna, pemanis bibir, atau latah dengan trend, melainkan kata-kata yang mengandung kuasa, yang menyelamatkan dan penuh wibawa. Kata-kata penuh kuasa inilah yang membuat setan-setan takut dan tunduk kepada-Nya, serta membuat manusia takjub dengan apa yang disampaikan-Nya (Mrk 1 : 21-28). Namun semuanya itu Dia lakukan bukan untuk mencari popularitas, melainkan demi kepentingan manusia. Yesus mengusir setan dari orang yang kerasukan supaya hidup orang tersebut dipulihkan. Ia memberikan pengajaran yang berbeda dengan para pemuka agama pada waktu itu supaya manusia dapat merasakan kasih Allah yang sejati. Semuanya itu Tuhan Yesus lakukan agar manusia memahami kehendak-Nya, percaya kepada-Nya, hingga akhirnya menerima anugerah keselamatan dari-Nya. Bagaimana dengan kita, apakah kita percaya pada kuasa yang terkandung pada kata-kata (firman-Nya) sehingga kita mampu mengimani dan mengamininya, serta menjadikannya landasan dalam seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari? (RKG)