GKI Peterongan

Toromit War Istery : Usahakanlah Kerukunan

Satu tungku tiga batu, sebuah falsafah hidup dari suku Mbaham di Fakfak, Papua. Falsafah ini hendak menyampaikan suatu kondisi yang rukun, damai, saling menjaga, antara kelompok agama yang berbeda. Lebih luas lagi, konon falsafah ini juga bisa dipakai untuk menunjukkan tiga unsur berbeda dalam masyarakat yang harus ditempatkan secara seimbang agar kehidupan yang harmoni dapat terus terjaga: adat, agama, dan pemerintah. Dari sini kita diingatkan tentang pentingnya menjaga kerukunan hidup.

Alkitab pun menyampaikan hal yang sama. Roma 12:18 mengatakan, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Seakan mau menegaskan pentingnya memprioritaskan kerukunan dibandingkan hal-hal yang lain, seperti memenangkan argumen, mengalahkan lawan, dan lain sebagainya. Namun, mengusahakan kerukunan atau perdamaian ini tidak bisa serta merta diwujudkan dengan cara yang instan seperti menyembunyikan masalah atau mendiamkan pihak-pihak yang berkonflik.

Tiga hal yang perlu kita perhatikan bila ingin sungguh-sungguh mengusahakan kerukunan dan perdamaian:

Pertama, sadari bahwa seringkali konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Karena itu, kita tidak perlu takut jika sewaktu-waktu harus berada di tengah konflik. Akan tetapi, kita selalu punya pilihan untuk memberi respons yang lebih baik dalam berkonflik. Ayat 11 mengingatkan kita bahwa jangan lupa, kehadiran kita adalah sebagai pelayan-pelayan Tuhan yang tujuannya tidak lain hanya untuk menyenangkan Tuhan semata. Kesadaran ini tentu membuat kita mampu memberi respons yang lebih baik.

Kedua, tidak selalu yang berkonflik dengan kita adalah musuh kita. Perhatikan ayat 19-20, kita diminta untuk memperlakukan setiap orang sama, karena sejatinya kita adalah sesama manusia. Dalam tradisi yang berkaitan dengan falsafah satu tungku tiga batu, dikenal satu prosesi bernama “kotigan.” Dalam prosesi adat ini, pihak-pihak yang bertikai diberi kesempatan untuk bertemu dan saling menyapa; bukan sebagai musuh, tetapi sebagai saudara.

Ketiga, kita bisa menghentikan pertikaian. Mengapa dunia seakan terkunci dalam lingkaran setan yang saling menyakiti satu dengan yang lain? Karena ada cara hidup yang berdosa: balas-membalas. Cara menghentikan pertikaian pertama-tama selalu jangan membalas, tetapi tidak berhenti di sana, kita malah melakukan kebaikan sebagai balasannya. (XND)

Pnt. Christnadi Putra Hendarta

-

Arsip