Suatu ketika, saat mengunjungi galeri lukisan, seorang lelaki menghampiri kami lalu mengajak ngobrol tentang tiap lukisan klasik di museum itu. Kami pikir dia pecinta lukisan kesepian yang butuh teman. Jadi, kami berbincang sambil melihat-lihat. Setelah hampir selesai, kami membaca brosur berisi sejarah museum itu. Kami kaget. Disitu ada foto dirinya. Baru kami sadar, ternyata ia pemilik semua koleksi lukisan mahal di museum itu! Kami terpana begitu tahu siapa dia sebenarnya. “Wow! Keren!”, kata seorang teman. Yang lain langsung mengajak selfie: “Pak, boleh foto bareng?”
Minggu ini kita memperingati transfigurasi Yesus. “Transfigurasi” berarti perubahan bentuk/penampilan menjadi lebih mulia atau spiritual. Bukan hanya Yesus yang pernah berubah rupa. Musa pun pernah. Wajahnya bercahaya saat menerima Dasa Titah. Bahkan Sang Buddha kabarnya pernah mengalami transfigurasi, saat mencapai level kerohanian tertentu. Lantas apa uniknya transfigurasi Yesus? Dia berubah rupa bukan karena sudah mencapai level rohani tertentu, melainkan karena itulah diriNya sebenarnya. Selama ini Yesus tidak mengekspos kemuliaanNya kepada publik, seperti si pemilik galeri lukisan tidak memamerkan “kemuliaannya” kepada kami. Ketika transfigurasi terjadi, baru ketiga murid sadar siapa Yesus. Ternyata Ia bukan sekedar guru agama. Ia figur besar sekelas Musa dan Elia, bahkan lebih lagi: Anak Allah yang diperkenan Bapa.
Melihat transfigurasi adalah pengalaman “wow.” Pantas Petrus ingin membangun tenda untuk “mengabadikan” momen itu. Tetapi itu respon keliru. Sebab yang penting bukan hebatnya apa yang telah kita lihat, melainkan apa yang berubah dari kita setelah melihatnya. Kemuliaan Kristus bisa kita alami dalam ibadah, doa pribadi, atau saat menghadapi krisis tertentu. Pengalaman khusus itu bukan untuk dinikmati apalagi dipamerkan, melainkan dijadikan momen pembaruan. Kalau Kristus tampak begitu mulia, pantaskah saya terus hidup hina diperbudak dosa, harta, atau kuasa? – JTI