GKI Peterongan

Tuhan, Pulihkan Kami

Sesudah kejatuhan Yerusalem 586 SM maka menjadi kebiasaan Yehuda melakukan puasa dalam bulan keempat, kelima, ketujuh dan kesepuluh (Zak 8:19). Puasa itu dirayakan dengan kegirangan dan sukacita sebagai wujud kecintaan terhadap kebenaran dan kedamaian. Mereka mempersembahkan kurban dan melakukan upacara – upacara keagamaan dengan disiplin. Meski demikian keadaan bangsa itu tak kunjung merasakan kedamaian dan kebenaran. Bahkan dalam masa tertentu mereka hidup dalam kuasa bangsa – bangsa lain sehingga mereka menderita dan kehilangan harapan. Mereka pun bertanya, ‘Mengapa kami berpuasa dan merendahkan diri tetapi Engkau tidak memperhatikan dan mengindahkan kami?

Lalu Tuhan mengutus Yesaya untuk menegur bangsa itu bahwa memang mereka setiap hari mencari Tuhan dan suka mencari jalan-Nya. Mereka berpuasa dan menanyakan hukum – hukum Allah. Tetapi diwaktu yang bersamaan mereka menindas orang lain, mengabaikan orang – orang kelaparan, tidak memberikan tumpangan bagi yang tidak punya tempat tinggal dan tidak memberi pakaian bagi mereka yang telanjang. Itulah alasan mengapa Allah tak memulihkan keadaan mereka. Yesaya berpesan bahwa ibadah tanpa keadilan sosial tidak berarti sama sekali. Kasih kepada Allah harus ditunjukkan dengan kasih kepada sesama. Hal ini senada dengan ungkapan Kristus dalam hukum kasih, ‘Kasihilah Tuhan Allahmu… dan hukum yang sama dengan itu ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’.

Betapa seringnya kita sebagai manusia menuntut Allah memulihkan kita, baik ekonomi, kesehatan, relasi dan lain – lain. Kita disiplin beribadah, berdoa bahkan berpuasa namun kita merasa belum ada pemulihan. Menarik untuk memperhatikan pesan Allah kepada Yehuda bahwa agama yang sejati adalah membebaskan orang – orang tertindas, memberi makan orang – orang lapar, memberi tumpangan bagi orang – orang yang tidak mempunyai rumah dan memberi pakaian bagi orang yang telanjang. Hanya dengan cara demikian maka Allah akan memulihkan dan mendengarkan teriak kita meminta tolong.
-PRB-

Ibadat yang disiplin tetapi tanpa keadilan sosial tak bermakna sama sekali.

Pieter Randan Bua

Arsip