Di suatu waktu, di suatu tempat di Timur Jauh, hiduplah seorang pendekar sakti yang begitu disegani dan tersohor di dunia persilatan. Konon, pendekar ini memiliki sebuah jurus pamungkas yang tidak dimiliki oleh siapapun. Menjelang tua, ia terpikir untuk mendirikan sebuah perguruan silat. Satu persyaratan untuk menjadi murid di perguruan silat ini: mereka harus menambahkan nama sang pendekar ke dalam nama mereka. Tahun berganti tahun, murid-muridnya semakin banyak. Akan tetapi, pendekar sakti ini masih belum berniat untuk menurunkan jurus pamungkasnya ke murid-muridnya. Ia hanya berjanji, kelak jika murid-muridnya berhasil mencapai tingkatan tertentu, barulah ia akan menurunkan jurus itu kepada mereka. Di satu sisi ia takut jika ia segera menurunkan jurusnya, ia akan dengan mudah tersaingi. Tetapi di sisi lain, ia sebenarnya hanya malas, enggan untuk melakukannya.
Suatu hari, begitu mendadak, sang pendekar meninggal di kamarnya karena serangan jantung. Murid-muridnya begitu terkejut dan sedih karena tidak ada satupun dari mereka yang sudah diturunkan jurus pamungkas dari sang pendekar. Akhirnya, perguruan mereka tutup. Murid-muridnya tercerai berai dan tidak bisa menjadi siapa-siapa di dunia persilatan. Karena sang pendekar sakti ternyata hanya sibuk menurunkan nama, bukan menurunkan jurus pamungkasnya.
Ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya adalah fana dan keberadaannya di dunia tidak bisa terus untuk selama-lamanya, ia kemudian merasa harus menurunkan sesuatu: mewariskan atau menitipkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya kepada keturunannya atau generasi selanjutnya. Dengan harapan, sesuatu yang berharga ini tidak hilang bersama dengan dirinya. Karena itu mulailah orang-orang mewariskan harta benda, nama besar, dan lain sebagainya. Bagaimana dengan iman? Sesuatu yang paling berharga yang pernah kita miliki, tetapi yang seringkali kita lupa untuk wariskan. Sama seperti cerita dongeng tadi, seringkali bukan karena kita tidak mau mewariskan iman, kita hanya enggan melakukannya. Teladani Raja Daud, yang menyempatkan di akhir hidupnya, kembali menegaskan apa yang harus Raja Salomo miliki, yaitu iman kepada TUHAN Allah Israel. Ia bahkan memberitahu bagaimana cara mendapatkannya: yaitu berpegangan pada hukum Musa (1 Raj. 2:1-4). Jadilah teladan iman dan bagikan pengalaman iman yang kita miliki. Jangan sibuk menurunkan sesuatu yang fana, tetapi wariskan sesuatu yang kekal yang kelak mereka juga akan wariskan kepada generasi yang selanjutnya. (XND)