“When peace like a river attendeth my way, when sorrows like sea billows roll… It is well with my soul“. Sepenggal larik yang ditulis Horatio G. Spafford menyaksikan keteguhan iman seorang ayah, yang berduka di tengah terpaan badai derita yang silih berganti melanda. Mr. Spafford adalah seorang pengacara Kristen yang kaya raya di Amerika. Ia sangat mencintai Tuhan dan melayani-Nya sepenuh hati. Tahun 1871, badai kehidupan mulai menerpa. Dimulai dari kematian anak laki-laki tunggalnya karena sakit, disusul kehancuran investasi bisnis akibat kebakaran besar Chicago tahun 1873. Puncaknya, alih-alih menikmati liburan di Inggris untuk pemulihan, dia kehilangan lagi 4 anak perempuannya yang mati tenggelam karena kecelakaan kapal laut yang sedianya membawa mereka ke Inggris. Mr. Spafford tidak ikut dalam pelayaran kapal “Ville du Havre” tersebut karena mendadak harus menyelesaikan urusan bisnis. Istri dan anak-anaknya berangkat terlebih dahulu, dan rencananya disusul setelah urusan bisnisnya selesai. Kabar berikutnya yang dia terima adalah telegram dari istrinya yang berbunyi: “saved alone” (selamat seorang sendiri). Dalam perjalanan kapal menyusul istrinya yang sedang berduka, sang kapten kapal berhenti di sebuah lokasi di tengah lautan, dan memberitahukan kepada Mr. Spafford bahwa inilah tempatnya dimana kapal yang ditumpangi istri dan anak-anaknya tenggelam. Horatio G. Spafford kembali ke kamar, dan saat itulah ia mulai menuliskan larik syair lagu “It is Well with My Soul”. Larik lagu ini kemudian dibuatkan langgam oleh Philip J. Bliss, dan diberi nama langgam: “Ville du Havre”. Lagu ini kita kenal dan nyanyikan bersama dalam NKB 195 : Ketika Hidupku Tentram.
Teladan iman telah diberikan lewat sepenggal fragmen kehidupan Horatio G. Spafford. Kehidupan iman kita pun baru teruji ketika menghadapi kesusahan. Apakah hati kita resah gelisah seperti apa yang dirasakan murid-murid Yesus (Yoh 14:1)? Ataukah dengan tulus, teguh, dan berani dalam Kristus kita hadapi derita, seperti teladan Stefanus (Kis 7:55-60)? Yesus adalah ‘batu penjuru’ kehidupan kita (1 Ptr 2:2-10). Seantero kehidupan kita tidak lepas anugerah Allah. Bersama Yesus, dalam segala keadaan iman kita siap untuk diuji. Saat itulah kita mempersaksikan iman percaya dan keyakinannya akan pemeliharaan Allah. (DAA)